Kisah Negeri dan Masjid di Gung Pinto
Ruangan
itu lebih mirip los tempat menyimpan padi dan palawija ketimbang madrasah atau
majelis taklim. Lantainya semen yang sudah rusak parah. Dinding kayu setinggi
tiga meter, disambung jendela kawat yang membalut seluruh kujur bangunan renta
itu.
Bangunan
seluas 8 x 15 meter itu berfungsi sebagai madrasah tempat anak-anak belajar
agama, taman pendidikan Al-Quran, dan kadang juga digunakan untuk pengajian
para orang tua. Saat sholat Idul Fitri dan Idul Adha, ruangan itu penuh diisi
jamaah perempuan.
Dinding
kayu bangunan itu dicat warna putih, namun sudah kusam. “Ini cat diambil dari
kapur yang ditambang di hutan. Jadi alami. Sudah 20 tahun tidak diganti,” kata
Herman Ginting, penduduk Gung Pinto.
Di
samping bangunan kayu itu berdiri Masjid Taqwa, dibangun pada 1994 atas wakaf
dari keluarga Haji Mohammad Arbie,
seorang pengusaha hotel di Kota Medan. Haji Arbie juga mewakafkan tanah seluas
satu hektare yang mengelilingi masjid. Tanah itu sekarang masih berupa ladang
dan belum dibangun apa pun.
Desa
Gung Pinto tidak terlalu luas.Penduduk Gung Pinto ada 700-an orang. Mereka
bermata pencaharian hampir seluruhnya sebagai petani ladang. Komoditas yang
ditanam sepanjang jalan dan sejauh mata memandang ada sayur dan buah. Ada kentang,
kubis, wortel, tomat, juga jeruk madu yang terkenal manisnya.
Hampir
semuanya penduduknya muslim, padahal sekitar desa itu masih banyak yang
menganut kepercayaan lama atau beragama Nasrani. Menurut Zulkarnaen Ginting,
salah satu warga yang juga jamaah masjid, keislaman warga desa masih melekat.
“Namun, perlu dibantu dai dan ustadz lagi,” kata lelaki yang memelihara jenggot
tebal ini.
Kisahnya
dimulai tahun tujuhpuluhan. Sejak dahulu, penduduk Gung Pinto, sama dengan
desa-desa lainnya di lereng Gunung Sinabung, masih menganut agama perbego atau
parmalim. Yaitu agama awal yang dianut oleh banyak orang Batak Karo, mereka
menyembah pohon, gunung dan batu
Sebelum
orang karo menganut a Islam, mereka mempunyai sistem kepercayaan dan religi
tentang Mulajadi Nabolon yang memiliki kekuasaan di atas langit dan pancaran
kekuasaan-Nya terwujud dalam Debata Natolu.
Zulkarnaen
bercerita, saat itu ada seorang perempuan warga Gong Pinto yang merantau ke
Kabanjahe karena mendapatkan suami orang sana, dia mengikuti suaminya. Tak
dinyana, perempuan itu mendapat musibah, dia ditemukan telah meninggal di
sebuah tempat. Bahkan jenazah sudah membusuk.
Sesuai
adat Karo, jenazah harus dibawa pulang ke Gong Pinto. Bayangkan kondisi desa
Gong Pinto yang terletak hanya lima kilometer dari puncak Gunung Sinabung.
Jalan menuju ke desa itu tidak sebagus sekarang, dari Brastagi dulu juga susah.
Posisinya berjarak sekitar 30 kilometer dari Kabanjahe, ibukota Tanah Karo.
Saat itu daerahnya masih berupa hutan belantara, berbukit-bukit, dan hanya
jalan setapak.
“Mikirlah
kayak mana bawanya. Sudah busuk, jauh pula. Betapa sulitnya membawa jenazah
pulang berjalan kaki ke Gong Pinto,” ujar Zulkarnaen.
Tapi,
penduduk Gung Pinto tidak jadi membawa jenazah itu sendiri. Ternyata ada
seorang imam masjid Kabanjahe yang bersedia mengurus jenazah perempuan itu.
Pasalnya, dalam kolom KTP jenazah tertulis agama Islam. “Ya sudah kami urus
saja karena dia saudara kami,” kata Zulkarnaen menirukan ucapan sang imam. “Apa
nggak senang sekali orang kampung. Diuruskan jenazahnya.”
Jamaah
masjid itu lalu mengurus pemulasaraan jenazah, memandikan, mengafani dan
menyolatkan jenazah. Lalu mengantar jenazah hingga ke Gung Pinto yang jaraknya
jauh dan medannya sulit.
Bagi
orang Gung Pinto, itulah awal perkenalan mereka dengan komunitas muslim.
Ditambah lagi, setelah itu, ada seorang dai yang rutin mendatangi Gung Pinto
untuk mengenalkan Islam dan membimbing yang bersedia masuk Islam. “Namanya
ustadz Ibrahim Latif. Dia dari Medan naik vespa sehari-hari kalau ke sini.
Masuk ke kampung-kampung di sekitar lereng Sinabung ini,” ujar Herman Ginting,
penduduk Gung Pinto.
Akhirnya,
pada 1975 seluruh penduduk Gung Pinto bersyahadat. Mereka menjadi satu-satunya
desa dengan 100 persen penduduk muslim. “Di simpang jalan masuk desa dulu kita
pasang plang besi bertuliskan Perkampungan Muslim Gung Pinto,” kata Zulkarnaen.
Di
Tanah Karo ada pesta tahunan setiap panen raya, biasa disebut Nimpa Bunga
Benih. Waktunya dua hari dua malam. Banyak perayaan yang tidak Islami. Nah, di
Gung Pinto, pesta tahunan sudah bisa dipindah waktunya bersama dengan Idul
Fitri. “Jadi, pesta tahunan kita ya hari raya Islam itu. Diisi dengan pesta
makanan halal, perayaan takbiran dan silaturahmi,” kata Zulkarnaen yang aktif
bersama Jamaah Tabligh melakukan khuruj keliling Karo.
Dulu
di balik bukit Gung Pinti, ada desa yang pernah mayoritas muslim. Tapi kini
tinggal satu orang yang mengaku Islam, itu pun sudah 25 tahun tidak pernah
sholat. Zulkarnaen pernah berdakwah ke sana. “Yang menyambut kita dengan baik
untuk membuat taklim adalah kepala desa yang justru beragama Nasrani. Toleransi
sangat tinggi di sini,” katanya.